Catatan Project Wira kaya Kampung

Posted on Posted in 2018, News, Project
Spread the love

WIRAKARYA KAMPUNG MURAL PRAMUKA 2018

Batch 1 : Kenjeran Surabaya / 2-7-2018

Proyek pertama berlangsung di Surabaya di kota dimana homebase Serbuk Kayu berada, jadi untuk menuju kesana tidak perlu persiapan yang memusingkan, cukup menyiapkan alat dan bahan saja. Di Kenjeran kami membuat gambar di belakang SD Bahari, tepatnya berada di tembok samping rumah warga, selama kami mengerjakan mural, para peserta program kwarda jatim lainya juga turut mengecat rumah-rumah warga, jadi tentu saja kami mengerjakan tidak sendiri banyak teman-teman pramuka yang melakukan kegiatan pengecatan dan tentu saja sangat ramai. Di kampung tempat kami mengerjakan adalah kampung yang rumah-rumah warganya sangat padat, bahkan warga juga bercerita kalau saat pasang banyak rumah akan terendam air, karena rumah mereka banyak berbatasan langsung dengan laut. Kami mendapati warga saat ramah saat kami mengerjakan proses mural, bahkan banyak dari merka yang meminta untuk digambarkan hal lain seperti kapal, jenis-jenis ikan yang bermacam-macam, dan lain sebagainya, tapi tentu saja kami tidak dapat mengmodir semua permintaan tersebut.

Di kampung tersebut kami menggambar ikan besar yang ditumbuhi terumbu karang di punggungnya, kami juga membuat sebuah tulisan besar yang berbunyi laut adalah rumah. Pemilihan tulisan tersebut adalah bahwa kampung tersebut cukup kotor, karena banyak rumah warga yang langsung berbatasan dengan laut maka banyak warga yang membuang sampahnya di di laut juga, alhasil pingir-pingir pntai sangat banyak sampah, dan tentu saja hal tersebut tidak indah sama sekali. Kami membuat gambar ikan adalah sebagai simbol yang sangat umum mengenai kelautan sedangkan terumbu karang adalah kami pikir terumbu karang menjadi sebuah indikator laut yang bersih, jadi gambar menjadi doa kami agar meraka dapat menjaga kebersihan launya. Tulisan ‘laut adalah rumah’ yang dimaksud adalah kami ingin masyarakat memaknai laut adalah rumahnya, bukan sekedar tempat untuk mencari penghasilan dan di kuras sumber danyanya untuk di komersialisasikan namun mereka mau melihatnya sebagai sesuatu hal yang juga jadi milik mereka, selayaknya rumah dimana mereka tinggal, saat mereka memiliki rasa memiliki, kami berasumsi bahwa mereka akan lebih aware dan menjaga kebersihan launya.

Kami memulai gabar mural pada pukul 13.00 dan selasai kurang lebuh sekitar pukul19.00, setelah kami selesai warga membelikan mie pangsit kepada kami, dan mereka menawarkan untuk mandi dan beristirahat sejenak di rumahnya. Saat pulang mereka juga memberikan panganan khas daerahnya kepada kami yaitu kerupuk rambak, entah itu kerupuk rambak sapi atau ikan, tapi yang dijalas dimasak denganbaik jadi rasanya sangat enak tap tidak terlalu seret seperti kerupuk rambak pada umumnya.. sekitar pukul 20.30 kami pergi meningalkan tempat gambar dan menuju pulang ke Sandiolo.

 

Batch 2 : Selosari, Magetan / 6-7-2018

Magetan adalah kota yang cukup jauh berada di sisi barat provinsi Jawa timur , magetan adalah daerah yang terletak di daratan tinggi jadi hawa di Magetan cukup digin, apalagi kami (serbuk kayu) berdomisili di Surabaya kota yang notabene panas, jadi kami rasa magetan sangat dingin. Di Magetan tepatnya kami mengambar di Desa Selosari, temapnya sangat asri apalagi di tempat kami menggambar ada sebuah sungai yang membagi desa, sugai nya bersih dan banyak difungsikan oleh anak-anak kecil sebagai tempat mandi, dan kolam pemancingan oleh orang dewasa. Warga disini tidak kalah rama mereka menyediakan beberapa kebutuhan kami seperti tangga dan hal lain yang tidak mungkin kami bawa dari Suraaya ke Magetan. Kami berangkat di tanggal 5 lalu bermalam di Madiun, lalu baru pada tanggal 6 pagi kami bertolak ke Magetan, kami mulai melakukan kegiatan menggambar sekitar pukul 10.00 wib.

Gambar yang kami bauat di magetan adalah tumbuh-tumbuhan dan buah strawberry, kami memilih objek tersebut karena terinspirasi oleh magetan yang asri dan subur. Di lokasi yang kedua kami membuat gambar 3d dengan sumsi banwa warga akan lebih tertarik dan ini akan mendekatkan meraka ke karya seni yang dibuat. Selain objek yang ami gambarkan tersebut kami juga menambahkan tulisan ‘Magetan asri bahagia selalu’, inilah doa yang kami panjatkan untuk magetan.

 

Batch 3 : Jembatan Kironggo Bondowoso / 6-7-2018

Lokasi yang ketiga berada di Bondowoso, waktu pengerjaannya berbarengan dengan di Magetan sehingga kami memecah tim. Pengerjaan mural di Bondowoso kami mulai sehari lebih lambat dari jadwal yang ditentukan, kami memulai pada tanggal 3 malam. Sempat ada kendala saat kami mengerjakan mural, saat kami tenggah mengerjakan gambar kami diminta untuk berpindah karena tembok yang sedang kami gambar tersebut  tidak mendapat izin dari warga untuk digambari. Saya rasa proses negosiasi seperti ini yang membuat persingungan antara seni dan warga menjadi lebih menarik.

 

Batch 4 : Kota Lama Malang / 9-7-2018

Kota ke-4 adalah kota Malang, kotanya aremania. Kami mengerjakan mural di kampung Muharto tepatnya di gang muarto 5b. Saat kami datang di tanggal 9 kami tidak bisa langsung melakukan mural karena ternyata belum ada spot jelas untuk mural, untuk berbuat nekat dan langsung mural di lokasi sesuka hati kami juga bukan menjadi opsi, malah bisa-bisa hanya membuang tenaga, karena saat warga tidak setuju kami harus menghapusnya lagi. Proses dealing  yag terjadi lumayan lama, dan setelah magrib kami baru mendapat tempat untuk dibuat gambar, namun karena terlanjur tidak mood kami memutuskan untuk melakukan mural keesokan harinya saja.

Di tanggal 10 kami mulai lebih pagi sekitar pukul 08.00 WIB kami sudah datang kelokasi dan memulai gambar, suasana tempat kami mengambar berada di kampung seperti di kota-kota sebelumnya, kami merasa cukup nyaman untuk menggambar di kampung karena di beberapa kampung yang telah kami datangi warganya selalu ramah, dan tidak sungkan untuk melakukan interaksi, untuk ngobrol, request gambar, dan malah memberi makan jika kami beruntung. Dan di Malang kami cukup beruntung karena mendapatkan bakso malang.

Topeng Malang menjadi objek gambar yang kami buat di Mlang, topeng sendiri adalah kerajinan yang digunakan dalam berbagai kesenian tradisi yang berasal dari kota malang, kami merasa tepat untuk menggambar hal tersebut karena saat hal yang berupa tradisional mulai tersisih maka sangat menarik untuk menggunakan karya seni sebagai medium pantikan untuk menggingat kembali terhadap memori yang dimiliki terkait topeng itu sendiri. Selain topeng kami juga menulis ‘ngalam kipa’ yang berarti ‘malang apik’ bahasa wolak walik ini sangat trend di Malang, dan bahkan telah menjadi salah satu ikon kota Malang.

Mural kami selesaikan di sore hari, dan setelahnya kami langsung bertolak pulang ke Surabaya.

 

Batch 5 : Jiwan Madiun / 13-7-2018

Madiun kota gadis, jargon ini maksudnya apa ya ? sekilas seperti menjadi pancingan bahwa ‘ayo di Madiun banyak gadis, kemari dan dapatkan satu?’ entah, itu hanya presepsi saya. Selain kota gadis madiun erkenal dengan industri kereta apinya, kota pendekar karena banyak perguruan silat disini, dan yang paling melegenda dan membuat Madiun selalu disebutkan dalam sejarah adalah karena Madiun adalah kota yang digunakan PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai base pusatnya, kota ini dipilih karen letaknya yang strategis berada tersembunyi di antara gunung.

Kami rasa kami tidak mampu membuat tafsir tepat atas jargon Madiun kota gadis jadi kami memilih opsi lain untuk membuat gambar tentang kereta api. Pabrik kereta api milik PT INKA berada di Madiun jadi kalau kamu pernah berpergian naik kerata hampir pasti itu dibuat di Madiun, kurang lebih seperti itu dan kemudian kami akhirnya memutuskan membuat gambar kereta.

Di madiun tempat kami menggambar tidak seperti kota sebelumnya, bila sebelumnya selalu menggambar di tenggah-tenggah kampung yang padat penduduk seperti saat di Surabaya dan Malang. Di sini kami menggar di pinggir jalan dari jalan yang menjadi percabangan dari jalan utama, mungkin penjelasan saya agak membingungkan, intinya kami menggambar di pinggir jalan kampung yang lumayan lebar. Jadi lumayan banyak kendaran yang berlalu lalang, ya akhirya seperti menggambar mural biasanya yang di lakukan dipinggir jalan, tapi mau bagaimana lagi itulah titik yang disepakati warga untu dilakukan mural. Sebelum kami memulai mural warga desa juga titip pesan untuk juga dituliskan, bunyi pesannya kurang lebih :

  • Ya Allah
  • Berikan kebaikan bagi desa kami
  • Berikan kerukunan masyarakat desa kami
  • Rekatkanlah ukhuwan kami
  • Tambahkan rezeki kami
  • Jauhkanlah adzabmu pada desa kami
  • Berikanlah terang yang menyinari hari kami

Kami memulai mural sekitar seenggah 8 pagi ditemani matahari terik dan angin yang berhembus cukup kenjang, saat kami menggerjakan mural ada seorang kakek kakek yang menggaku dulunya adalah seorang masinis, Beliau menggaku bekerja sebagai masinis sudah 40 tahun lebih, beliau sangat antusias melihat mural yang kami buat, dan juga dia banyak bertutur mengenai pegalamannya saat menjadi masinis, karena sangking bersemangatnya cerita yang dituturkan jadi panjang, dan karena kami pemuda jawa yang sungkanan maka maka kami dengan sabar mendengarkan cerita mbah nyono. Saya agak kecewa degan kopi-kopi yang hadir di hari itu kopi yang dibelikan oleh pak Akbar terlalu manis, sama juga dengan kopi yang di suguhkan oleh istri pak yono juga sangat manis, kemudian di malam hari saya membuat kopi sebagai teman untuk menonton final piala dunia juga tidak pas, kopinya sedikit airnya terlalu banyak jadi yang encer.

Setelah kereta dan pegaharap warga selesai di gambar, kami sempat beristirahat sejenak di rumah pak Nyono sambil makan rujak buah, dan kemuadin pergi meninggalkan tempat.

 

Batch 6 : Kragan Kediri / 20-7-2018

Setelah sholat subuh kami langsung bertolak ke kediri, kami kami rasa tidak terlalu jauh dan dikarenakan tanggal sebelumnya kami ada kesibukan jadi kami memutuskan untuk berangkat subuh. Kami tiba disana sekitar pukul 8 pagi, dan mulai mengerjakan mural di pukul 10 pagi. Lokasi pengerjaan dekat dengan jalan raya, tempat gambar kami cukup terik.

Di kediri kami membuat mural orang berjualan tahu, kami memilih objek tersebut karena memang tahu kediri sangat terkenal. Saat kami melakukan mural rekan kami  yang berasal dari Kediri sempat mampir dan menemari proses kami menggambar yaitu Viktor seorang streetartist, nama jalanan-nya ‘GRS’ kalo bertemu throw up  bergambar bebek dimanapun ya pasti itu punya Viktor,dia sangat giat memajukan skena streeart Kediri dengan berbagai kegiatan yang dibuat. Viktor pamit sekitar pukul 3 sore karena harus ke rumah sakit untuk menemani ayahnya yang sedang berada di rumah sakit.Kami selesai sekitar jam 5 sore dan langsung bertolak pulang ke Surabaya setelahnya.

 

Batch 7 : Ajigunung Anyar – Sampang / 23-7-2018

Meskipun jarak tempuhnya hanya 2 jam, tetap saja Sampang itu berada di luar pulau, dan tentu saja kami sangat bersemangat untuk melakukan mural di luar pulang, apalagi saat perjalanan kami akan melewati jembatan Suramadu yang terkenal itu, hehehhe. Berangkat ke sampang sekitar pukul 6 pagi dan sampai disana pukul 8 atau 9 pagi. Kalau tidak salah hari itu kami belum beristirahat cukup jadi rasanya sedikit kurang fit, tapi tak apalah kami tetap bersemangat. Aris salah satu peserta yang berangkat untuk menggabar di Sampang menggaku belum pernah lewat jembatan Suramadu sama sekali padal dia sudah sekitar 4 tahun tinggal di Surabaya, jadi yaa takjub gitu dianya. Selama perjalan kami melewati banyak pasar yang menghambar arus lalu lintas dan satu lagi sangat banyak orang yang meminta sumbangan untuk keperluan membangun masjid atau keperluan yang lain di sepanjang jalan menuju Sampang. Tapi kiranya memang begitu atau bagaimana ya ? saya pertama ke Madura dengan membawa kendaraan sendiri sekitar tahun 2011 juga mendapati kondisi yang sama, pasar dan pencari sumbangan di sepanjang jalan, jadi bertanya-tanya apa masjid yang dibangun belum selesai atau ada pembangunan masjid baru lagi ? iya, mungkin banyak masjid yang dibangun, karena orang madura terkenal sangat religius.

Sesampai disana kami bersantai sejenak di lapangan dekat markas TNI yang ada disana, kami beristirahat disana karena memang venue acara utama berada di disitu dan lokasi muralnya juga berada dekat dari situ. Setelah beristirahat cukup LO kegiatan langsung membawa kami menuju ke tempat mural, kami menggambar di sebuh tempok kantor pemerintahan yang mana tembok tersebut menjadi salah satu pagar pinju masuk menuju kampung.

Menentukan objek apa yang digambar di Madura tidak terlalu susah, karena Madura begitu terkenal dengan budayanya yang banyak berhubungan dengan sapi, jadi kami memilih sapi sebagai objek untuk digambar.

Kami menyelesaikan mural pada pukul 3 lalu langsung bertolak pulang ke Surabaya. ditenggah perjalanan pulang kami sempat beristirahat di Pom bensin karena kami benar-benar mengantuk saat itu, lalu kami terditidur dan bangun saat magrib. Setelah bangun kami melanjutkan perjalan dan tiba di Surabaya sekitar pukul 8 malam.

 

Batch 8 : Gununganyar – Tuban / 27-7-2018

Tuban adalah kota yang tidak asing, saya sangat sering berkunjung ke Tuban karena ada beberapa teman saya semasa kuliah berasal dari Tuban, bahkan di Serbuk kayu sendiri ada 4 orang yang berasal dari Tuban yaitu Bung, Kebo, Condro, dan Impo.

Kami ke tuban berangkat pukul 8 malam dan sampai disana pukul 11 malam, disana kami bertemu dengan kawan lama Bung, Indru, Jemblung, Riva, Kadal, Wahyu, dan Putro. Kami bertemu di warung kopi Mantabjaya warung baru kepunyaan Indru. Esok paginya kami pergi ke Gununganyar yang ternyata berjarak 40 menit dari kota, cukup lumayan jaraknya. Kami pergi ditemani Wahyu, di sana kami mengambar kuda karena kalau kita masuk Tuban kita kan disambut dengan tulisan selamat datang beserta 2 monumen kuda yang berada di sis kanan dan kiri jalan, tidak hanya menggambar kuda tapi kami juga menggamabr kepiting, kami menggambar kepiting kiarena Wahyu bersikeras bahwa maskot Tuban adalah kepiting jadi kami harus menggambar kepiting, dia memaparkan bahwa di klenteng Tuban ada patung kepiting raksasa yaitu maskot Tuban, meskipun kami kurang begitu yakin tapi kami menggiyakan karena yang bertugas menggamabr kepiting adalah di Wahyu sendiri.

Mural selesai pukul 3 sore, setelahnya kami di ajak Wahyu untuk berkunjung ke rumah neneknya yang tidak jauh dari situ, sore hari baru kami bertolah menuju Tuban kota lagi ke warung milik Indru. Malam hari kami sempat menggambar dijalan bersama Bung dan Wahyu, dan ke esokan paginya kami pulang ke Surabaya.

 

Batch 9 : Sumbersari – Jember / 30-7-2018

Jember kami tempuh dengan naik kereta api, jadi tidak seperti bisanya yang waktunya sangat fleksibel, di Jember kami sangat terbatas waktu karena harus menyesuaikan jadwal tiket yang sudah kami beli. Kami berangkat pukul 5 dan kurang lebih sampai di Jmber jam 9 pagi. Kami sampai lalu menyempatkan ngopi dan santai dulu dengan panita lalu langsung bertolak ke tempat mural.

Sejujurnya kami di Jember menghadapi kebingungan objek apa yang harus digambar, kalau mau menggambar budaya lokal kami tidak tahu, googling juga tidak membantu, begitu juga bertanya ke warga lokal merka juga bingung. Akhirnya setelah mengerahkan segenap kemampuan untuk berselancar mencari informasi kami temukanlah tanki air pasar tanjung yang menjadi icon, akhirnya tampa berlama-lama kami putuskan objek tersebut yang akan kami gambar. Sempat terlintas untuk mengmbar Bung Anang Hermansyah saja karena dia adalah idola Aris, tapi kami urungkan karena tapi tak begini, hehehe.

Kami selesai menggabar sekitar pukul 2 lalu sempat isturahat sebentar lalu bertolak ke stasiun, karena kereta pulang kami pukul 4 jadi kami tidak punya banyak waktu untuk jalan-jalan di Jember.

 

Batch 10 : Sumber Agung, Paciran – Lamongan / 4-8-2018

Kami membuat janji untuk bersua Owan salah satu anggota serbuk kayu yang bertempat tinggal di Lamongan, namun sesampainya di Lamongan ternya dianya sedang ada di Surabaya, alhasil kami tidak jadi pertemu. Kami berangkat ke Lamongan setelah sholat jumat. Selama perjalanan kami menggikuti google map, karena kurang menggenal jalanan arah ke Paciran. Yang menarik adalah setelah hampir sampai sekitar 5 kilo dari venue kamu diberi petunjuk jalan yang lebih singkat oleh google map, ya tentu saja kami turuti saja. Saat kami menggikuti jalan kami kurang yakin karena jalannan yang ditujukan menuju jalan setapak dan melewati hutan, bahkan saat mau turun ke jalan setapak tersebut beberapa warga sekitar sempat meneriaki ‘ate nandi ?’ tapi karena kami percaya google map jadi kami jawab saja ‘ajenge teng meriko’ sambil menunjuk ke depan, lalu kami terus saja. Selama perjalanan kami sangat kurang yakin, tapi mau bagaimana lagi sudah terlanjur jalan, apalagi ditengah perjalan sinyal tiba tiba tidak ada. Kami membyangakn bagaimana kalo ada elang raksasa tiba-tiba muncul saat kami melakukan perjalanan, elang yang seperti kepunyaan Yoko.  Tapi akhirnya kami sampai di tempat, dan peta yang berikan memang benar.

Di Lamongan kami mengambar kain batik yang terbang, karena lokasi tempat dimana kami membuat mural adalah kampuk yang menjadi sentra pembuatan batik Lamongan. Saat mulai petang masalah muncul ternyata lokasi dimana kami mengambar tidak ada lampu sama sekali, jadi kami mengambar hanya dengan dibantu lampu hp. Beberapa saat kemudian warga tahu kalau kami menggalami kesulitan cahaya akhirnya mereka membantu untuk meminjmakan lampu, tentu saja itu sangat membantu. Setelah selesai membuat mural kami bersantai dan bercengkrama dengan warga sampai sekitar jam setengah sebelas malam. Kemudian kami langsung pulang ke Surabaya melalui jalan yang ditunjuk kan oleh warga, tidak menggikuti google map lagi, karena akn sangat tidak masuk akal untuk menggulang jalan menuju tempat latihan Yoko yang kami lewati saat berangkat.

 

Batch 11 : Tosari, Pasuruan / 7-8-2018

Kota Pasuruan yang selama ini saya kunjungi adalah kota yang hangat malah cenderung panas, sama seperti kota pantura pada umumnya yang dekat dengan pantai, tapi yang saya temui pada kegiatan mural yang terakhir ini adalah Pasuruan yang benar-benar berbeda, Pasuruan yang super dingin karena kiranya Tosari adalah wilayah Pasuruan yang terletak di lereng Gunung Bromo, bahkan saat kami kesana cuaca saat malam hari mencapai 9 derajat celsius, tentu saja itu membuat kami mengadapi permasalahan yang cukup menyenangkan.

Kami berangkat ke Tosari pada hari senin siang pada tanggal 6, kami berangkat lebih awal karena mendapat undangan dari kawan yang tinggal berdekatan dari Tosari yaitu Mas Anang yang tinggal di Nongkojajar untuk datang lebih awal dan sharing dengan kawan-kawan kampung mengenai pengalaman berproses dalam sebuah kelompok seni. Mas Anang sendiri adalah seorang seniman dan aktivis pegiat lingkungan. Kami tiba sekitar pukul 5 sore berkunjung ke rumah salah seorang kurator Pasuruan yang kebetulan sedang ada di rumah Nogkojajar-nya yaitu Zuhkhriyan Zakarian, baru pada jam 8 malam kami pamit dan ke rumah Mas Anang. Sesampai rumah Mas Anang ternyata banyak aktifitas perlombaan yang dilakukan oleh warga, maklumlah tanggal-tanggal itu sudah berdekatan dengan 17 Agustus jadi tentu saja banyak perlombaan yang dibuat oleh warga. Sekitar pukul 9 malam Mas Anang mengajak kami untuk berangkat ke Tosari, perjalanan antara Nongkojajar ke Tosari memakan waktu sekitar 30 menit dengan tambahan menembus hutan dan dingin. Di perjalanan kami sempat berhenti di desa sebelum Tosari untuk menjemput kenalan Mas Anang yaitu Rio seorang pemusik yang serba merdu kalau sudah memegang alat musik dia menjadi salah satu pemain musik selama perhelatan Bromo Jazz Gunung. Di Tosari kami tinggal di Rumah Yayak seorang warga lokal yang kebetulan juga seniman dan adik kepala desa, Rumah sederhana yang rapat berjejer, deretan rumah Yayak ini bukan berada di tanah yang landai, pola rumahnya seperti anak tangga jadi tiap rumah memiliki pemandangan yang bebas tanpa tertutup rumah yang berada di depan nya, karena rumah depan nya berada di posisi yang lebih bawah, kurang lebih seperti itu ilustrasi posisi rumah Yayak. Di Rumah Yayak ada seorang seniman Tari yang walaupun sudah berumur beliau masih energic dan asik namanya Arena biasa dipanggil Cak Na, Cakna adalah lulusan ISI Yogyakarta seangkatan dengan Nasirun, karena menurut cerita Cakna Nasirun itu ya temannya yang dari Jurusan seni rupa. Selain Cakna ada seorang lagi warga lokal yang juga sangat ramah tapi saya lupa siapa namanya. Malam itu kami ditantang untuk pada pagi hari nanti naik ke puncuk untuk melihat sunrise tentu saja langsung saya tolak, dengan dalih tidak kuat dingin-nya dan menurut saya matahari terbit dimana saja itu sama semua indah. Setelah ngobrol hingga menjelang subuh kami bersepakat untuk istirahat, kami beristirahat di ruang tahu di atas tikar yang berlapis, baju berlapis, kaos kaki, sarung tangan, dan selimut berlapis. Ternyata terlalu dingin juga membuat gelisah, maklumlah Surabaya kota yang panas jadi diserang dingin yang sebegitunya ya hancur.

Esok pagi sekitar pukul 9 kami sudah bangun dan siap untuk melakukan mural, pagi itu Cakna sudah tidak ada di menghilang. Yayak sebagai warga lokal juga sangat sibut untuk menyambut kedatangan peserta Pramuka, dan kami bertiga cukup santai Saya, Aris, dan Mas Anang kami sarapan sembari menghangatkan diri dekat api-api di ruang tengah, dan kemudian ngopi di dekat lapangan sambil meyaksikan peserta pramuka yang datang. Kami mulai gambar sekitar pukul 2 siang, kami menggambar tulisan Tosari dan karakter ‘groot’ yang seluruhnya tubuhnya dari kayu, Mas Anang juga turut menggambar karakter karikatus dirinya dengan memegang kuas. Kami membubuhkan tulisan ‘kudhu njare?’ bahasa tengger yang berarti harus bagaimana, dan dijawab dengan tulisan ‘tanam & rawat pohon untuk menuai cinta’. Meskipun pada sore hari hujan sekitar pukul 7 malam mural sudah selesai, setelah selesai kami menantang diri sendiri untuk mandi di air yang super dingin, sangking dingin nya saat menguyur air tubuh saya menggeluarkan asap, persis seperti jago silat yang berlatih tenaga dalam, hehehe. Sore hari saat kami sedang menggambar tiba-tiba Cakna yang tadi pagi menghilang datang, ketika ditanya ternyata dia dari Malang, kemudian ke Pasuruan kota, dan pulang lagi ke Tosari, kata Mas Anang memang begitu tiap harinya Cakna sangat suka berpergian.

Malam harinya kami menikmati sajian pertunjukan yang dilakukan oleh kawan-kawan pramuka, malam itu kami bercengkrama di dan bernyanyi-nyanyi hingga malam di dekat perapian. Ke-esokan hari kami telah bersiap untuk pulang, Mas Anang memberi oleh-oleh lombok tengger yang bentunya sangat besar, hampir mirip paprika namun bentuknya masih seperti cabe pada umumnya runcing, dan rasanya super pedas. Setelah berpamitan kami pulang sekitar pukul 10 pagi, dengan hutang janji akan mengadakan kegiatan Nature Noise di sekitar akhir tahun bersama Mas Anang, Yayak, Rio, dan Cakna.

(dnm)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *