Oleh: Ahmad Irfandi
Banyak pihak yang menganggap KLG adalah hal yang istimewa di tengah fenomena kecanduan gadget yang merajalela. KLG dianggap sebagai permata di tengah keadaan pergaulan yang serba dalam jaringan. KLG banyak dicari oleh banyak orang terutama orang tua yang gelisah dengan permasalahan adiksi gawai pada anaknya. Permasalahan ini adalah permasalahan yang serius, sehingga ketika ada satu platform atau wadah seperti KLG seperti ada angin segar.
Ada juga yang menganggap bahwa KLG ini sesuatu yang aneh. Di tengah semua orang berlomba-lomba dalam kemajuan teknologi, berkompetisi kecanggihan gawai, ada sekelompok orang yang berpikir terbalik. Mereka memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan yang timbul dari kompetisi ini. Jarangnya keanehan ini juga membuat KLG dipandang istimewa. Hal ini menarik bagi banyak orang.
Penggagas KLG sendiri merasa bahwa program ini tidak terlalu istimewa. KLG ini adalah wadah atau platform wajib yang seharusnya ada di tiap-tiap wilayah. Idealnya satu desa atau satu kelurahan punya wadah bermain yang bertujuan melindungi anak-anak di masa bermainnya. Kampung Lali Gadget adalah wadah bermain yang memiliki tujuan spesifik salah satunya mengurangi kecanduan gadget. Jika semua orang sadar akan bahaya kecanduan gawai, maka seharusnya semua orang sadar untuk mengembangkan program sejenis.
Pemerintah pun ditantang untuk membuat program ini menjadi program lumrah di masyarakat. Bukan lagi menjadi program yang istimewa. Artinya hal ini harus digalakkan dan menjadi kebiasaan masyarakat untuk melawan kecanduan gawai yang sangat merugikan tersebut. Pemerintah dapat memasukkan ini dalam program jangka panjang pembangunan sumber daya manusia. Bagaimana tidak menjadi penting jika yang diurusi adalah permasalahan mental anak bangsa?
Bayangkan jika semua masyarakat bergerak melawan kecanduan gawai dengan kearifan dan cara masing-masing. Masing-masing daerah akan punya metode tersendiri untuk mengentaskan permasalahan ini. Ada yang memakai adat istiadat dan ada yang memakai kebudayaan. Ada yang memakai pelatihan berbasis agama, bahkan ada pula yang memakai pelatihan berbasis militer. Ada satu bidang yang memakai pendekatan keluarga, ada pula yang memakai pendekatan alam terbuka, dan sebagainya. Indah rasanya jika semua bergerak untuk hal ini.
Siapa yang bisa membayangkan jika sebuah peristiwa bermain menjadi sesuatu yang melebar kemana-mana? Akibat adanya keresahan tentang kecanduan gawai di masyarakat, semua orang akhirnya menjadi peduli. Pihak-pihak pemangku kepentingan dari berbagai bidang pun rasanya ingin bergolak untuk andil dalam upaya pemulihan ini. Asumsi ini lahir dari proses yang berjalan organik di Kampung Lali Gadget.
Jika dilihat dari organisasi pemerintah, memang telah banyak bidang pemerintahan yang akhirnya menaruh harapan dan bersedia berperan terhadap permasalahan ini. Atas dasar Universalitas permasalahan yang diangkat, yakni adiksi internet (gawai), banyak pihak yang prihatin akhirnya bergerak. Termasuk pemerintah yang lumayan aware tentang hal ini. Hal ini perlu ditingkatkan karena saat ini porsi keterlibatan pemerintah masih sangat sedikit. Meskipun dalam ukuran komunitas pergerakan kecil, hal ini sudah patut diapresiasi.
Gerakan Kampung Lali Gadget menginspirasi otoritas bidang literasi dan kearsipan daerah Sidoarjo berperan untuk membantu bidang literasi. Dapat dilihat dalam hal ini bahwa KLG juga berdampak pada aktivitas literasi. Sejalan dengan itu otoritas bidang kepemudaan juga turut andil memberi perhatian kepada program ini. Hal ini menunjukkan bahwa program ini sangat berhubungan dengan aktivitas kepemudaan. Sentuhan dari otoritas kepemudaan dianggap penting untuk merangkul anak muda membuat inspirasi baru semacam KLG.
Belum lagi tentang pariwisata yang saat ini lagi ramai digarap pemerintah. Aktivitas bermain tradisional dianggap sesuatu yang langka dan menarik untuk dikunjungi. Hal ini membuat otoritas pemerintah bidang pariwisata ikut andil memberi perhatian pada ramainya kunjungan ini. selain itu ramainya kunjungan juga berdampak pada sektor ekonomi dan sosial masyarakat sekitar. Masyarakat bisa berjualan dan mendapat keuntungan dari aktivitas ini.
Pada bidang pendidikan, aktivitas nonformal ini mendapat perhatian dari otoritas bidang pendidikan dalam sub bidang pendidikan nonformal. Artinya hal ini sangat berpotensi untuk digarap dalam lingkup pendidikan kemasyarakatan. Ini digadang-gadang menjadi inovasi pendidikan nonformal. Selain pendidikan nonformal, program ini juga berpotensi digarap dalam pendidikan formal. Bagaimana tidak? Saat ini pemerintah pusat sedang menggalakkan program merdeka belajar. Program merdeka belajar ini sangat membutuhkan ruang bebas tanpa batas tembok kelas untuk memfasilitasi siswa bereksplorasi. Alam terbuka menjadi idaman dalam pembelajaran merdeka.
Tak kalah pentingnya adalah bidang kesehatan. Kesehatan mental dan psikologi menjadi bidang yang mendapat tautan paling besar pada program ini. Mengurangi kecanduan terhadap gawai merupakan pekerjaan rumah besar para pemangku kepentingan bidang kesehatan dan psikologi. Ramainya kasus anak masuk rumah sakit jiwa karena adiksi internet dan permainan virtual menjadi kegelisahan yang besar. Belum lagi kasus-kasus kriminal yang timbul dari permasalahan adiksi. Ini menjadi penting untuk ditindak dengan serius.
Sekolah terus kapan bermain?
Pendidikan memang menjadi hal yang sangat berharga di masyarakat. Pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting sehingga setiap anak harus mengenyam pendidikan. Baik di kota maupun di desa, gaung semangat pendidikan telah menjadi rasa yang wajib ada di setiap insan. Pendidikan, sejak jaman penjajahan telah menjadi tolok ukur kualitas manusia. Bangsa kita mudah terjajah dan diadu domba karena sebagian besar kurang mendapat pendidikan yang layak. Hingga beberapa putra putri bangsa bertekad untuk sebisanya mengenyam pendidikan bahkan hingga ke negara lain. Tekadnya kembali ke Nusantara untuk mendidik bangsanya agar menjadi bangsa yang maju.
Dewasa ini pendidikan erat kaitannya dengan sekolah. Semakin kesini, semakin maju pendidikan di negeri ini yang diejawantahkan sebagai sekolah. Sekolah merupakan entitas yang valid untuk menjadi ukuran keberpendidikannya seorang anak. Lebih lanjut sekolah menjadi formal dengan adanya sistem kurikulum dan pengajaran. Hadir pula ruang yang ditutup oleh empat sisi tembok dan sekadarnya ada pintu sebagai jalan masuk para pembelajar di ruang tersebut. Ada bangku, ada kursi, ada papan tulis, ada yang duduk memperhatikan, ada yang berdiri menerangkan, lahirlah sebuah sistem belajar formal yang semua harus serba teratur dan seragam.
Umumnya belajar dalam sistem tersebut dimulai pukul 07.00 dan diakhiri pukul 12.00. bahkan jika diberi tambahan label Full Day School , belajarnya akan berakhir sore hari pukul 16.00. Setiap hari itu yang dilakukan anak-anak sedunia selama senin hingga jumat/sabtu. Minggu adalah hari bebas bagi anak-anak. Entah kenapa sistem yang seperti itu amat memenjara anak-anak, buktinya jam istirahat dan jam pulang adalah momentum teriak, kebebasan, dan sukacita para pembelajar. Kenapa bukan belajarnya yang jadi sukacita? Belajar dalam sistem sekolah formal menjadi kewajiban yang tak pernah dikreasikan. Sifatnya yang wajib dan membuat semua anak harus patuh menjalaninya membuat sistem ini tak pernah berinovasi dan tetap menjadi belenggu cara belajar.
Sekolah tertentu yang tak memiliki pandangan lain selain kemajuan akademis dan perburuan kualitas nilai rapor bahkan menambah jam belajar. Terutama bagi siswa kelas akhir yang harus menjalani penilaian akhir dengan kemasan “ujian nasional”. Jam belajar harus ditambah untuk menggenjot nilai akademis. Ada beberapa sekolah yang justru mematok harga paksaan untuk tambahan jam belajar tersebut. Celakanya mempergunakan guru, tenaga, buku, dan cara belajar yang sama. Ini belum ditambah dengan tugas mengerjakan soal, LKS, praktikum, dan lain sebagainya. Di Indonesia, “Pekerjaan Rumah” atau yang populer sebagai PR, sangat favorit dilemparkan guru kepada siswa.
Siswa belajar selama sekolahnya dengan banyak mata pelajaran. Matematika,biologi, kimia, fisika, bahasa indonesia, bahasa inggris, PPKN, Agama, IPS, muatan lokal, menjadi menu minimal ketika hidup di sekolah. Bayangkan saja satu kepala, dituntut pintar untuk semua bidang. Nilai harus bagus, jika jelek harus diremidi. Tapi sebaliknya, satu guru hanya mengajarkan satu mata pelajaran. Satu guru memiliki beban satu bidang yang diajarkan, sementara siswanya wajib menerima dan bernilai baik untuk semua urusan tersebut. Maka jangan menyalahkan siswa yang akhirnya bolos, lompat pagar, menyelinap ke kantin, atau melampiaskan kekesalannya dengan pergaulan bebas. Asumsinya ini terjadi karena sekolah belum bisa menjadi tempat yang asyik untuk belajar.
Tak hanya berhenti di situ, sistem aturan dalam keluarga siswa kadang juga menambah penderitaan dengan mewajibkan bimbingan belajar di lembaga swasta. Mungkin metode dan gurunya berbeda, namun tetap saja yang dipelajari adalah narasi yang sama. Coba bayangkan lagi jika orang tua memiliki nafsu untuk memberikan keahlian tambahan bagi anaknya. Menari, musik, atau bahkan ingin anaknya ahli dalam spesifik bidang pelajaran tertentu hingga bisa diikutkan olimpiade mata pelajaran. Les tambahan, kursus, yang semakin menambah durasi ketegangan dalam hari-hari anak. Betapa padatnya hidup anak dengan lalu lintas ketegangan berpikir.
Ada pertanyaan yang nakal, dan tak banyak orang berani mempertanyakannya. “Jika beban belajar akademis sudah seperti itu, lalu kapan bermainnya?”. Apakah bermain penting? Tentu kita harus adil memberikan porsi kepada anak. Jika belajar secara formal saja sudah dibebankan seperti itu dengan alasan nilai bagus akan menjamin masa depan gemilang, lalu apakah aktivitas sosial bermain juga tidak berpengaruh pada masa depan gemilang? Padahal kita tahu semua bahwa bermain adalah dunia anak dan menjadi hak-hak anak. Anak juga berhak atas waktu luang yang mengasyikkan.
Undang-undang perlindungan anak menyatakan anak berhak memiliki waktu luang. Tentu saja waktu luang ini yang akan diisi anak dengan aktivitas bermain. Bermain adalah kesenangan, bermain adalah kebahagiaan, bermain adalah ungkapan pembebasan, setidaknya dalam ungkapan hati anak, tiga hal itulah yang paling tepat. Anak berhak senang, bahagia, dan bebas dari kekangan formalitas orang dewasa. Anak itu apa adanya, menjelajahi ruang hatinya yang penuh cahaya. Tak pernah tertutup oleh berbagai kepentingan. Kepentingan anak hanya ingin senang, ceria, dan bahagia.
Dalam pembahasan orang dewasa, bermain dan bersenang-senang justru dapat memberi pengalaman menarik bagi anak. Bayangkan dengan bermain, anak berkomunikasi, bersosialisasi, mempertahankan pendapat, mengalah, bertoleransi, menjalankan aturan, mengapresiasi, mengkritik, mempertahankan diri, melindungi temannya, menolong, dan sebagainya. Dalam situasi khusus mereka mengalami konflik dan pelan-pelan menemukan penyelesaiannya. Mereka mengelola emosi dan perasaannya. Lalu apa bedanya dengan orang dewasa? Perbedaan hidup anak dan orang dewasa hanya dibatasi porsi. Anak-anak memiliki porsi dalam permainan. Orang dewasa memiliki porsi kehidupan sosial sesungguhnya.
Orang dewasa sibuk bekerja, formalitas, dan menahan diri dalam pekerjaannya. Ditekan perusahaan, disuruh atasan, mereka menahan diri dari peliknya bekerja. Lalu ia pulang ke rumahnya dan menemukan satu forum nonformal. Orang Jawa biasa menyebutnya cangkrukan. Dalam forum ini semua kepenatan dilampiaskan, dengan menggerutu bersama tetangga. Inilah ruang batin sesungguhnya masyarakat kita, ada dalam forum santai di warung kopi teras, meja pinggir jalan atau pos kamling. Ruang batin sesungguhnya bukan dalam kantor atau rapat kelurahan. Sama halnya dengan anak, ruang batin anak ada dalam bermain. Jika kebutuhan paling utama anak adalah bahagia, bukan menjadi pintar dan bernilai rapor tinggi, maka porsi ruang batinnya harus lebih banyak daripada orang dewasa.
Sekarang, apakah dapat dibenarkan upaya membebani anak dengan belajar akademis dan tuntutan nilai itu? Apakah kita perlu mengurangi beban akademis anak-anak? Simpulan ini dikembalikan kepada masing-masing orang tua/pengasuh. Anak-anak sebenarnya tidak berkewajiban memiliki nilai bagus di sekolah. Kewajiban itu hanya datang dari ego orang tua yang pandangannya masih sempit pada jurang akademis. Padahal akademis pun bukan faktor utama penentu kesuksesan seorang anak yang tumbuh dewasa kelak. Hal diluar akademis seperti kemampuan bersosialisasi, berkomunikasi, berjejaring, jujur, kompetitif, dan sebagainya dianggap sebagai faktor penentu kesuksesan yang perannya tinggi. Lalu, pantaskah aktivitas bermain sehari-hari yang mengajarkan itu semua harus dikurangi? Ditindas dengan belajar formal untuk berburu nilai akademis?
Kenapa bermain tidak pending di mata orang tua?
Cerita masa kecil anak-anak jika diceritakan kembali, pasti banyak mengandung hal-hal mengesankan. Salah satu di antaranya adalah hubungan kritis antara anak dan orang tua manakala anak kelewatan waktu bermainnya. Tentu hal ini menjadi sangat menarik dibahas anak dengan temannya. Galaknya orang tua menjadi cerita mengesankan yang mewarnai dunia anak. Diwarnai dengan omelan, cercaan, hingga tangan atau sapu mendarat di bokong.
Orang tua tentu ingin anaknya tahu waktu; waktu mandi, makan, mengaji (untuk anak muslim), dan segala kewajiban lainnya. Orang tua tidak ingin anaknya sembarangan dalam mengatur waktu. Terkadang juga tidak hanya permasalahan waktu. Acapkali konflik dalam permainan juga membawa nama baik orang tua dengan orang tua lain. anak yang sering jadi sasaran amukan orang tua.
Peristiwa bermain merupakan hal yang penting bagi anak, namun sangat tidak penting bagi kebanyakan orang tua. Bermain dianggap hal sepele yang bisa diganggu dengan bermacam kehendak orang tua. Bermain adalah bermain-main dan tidak bersungguh-sungguh. Bermain adalah hiburan yang tidak penting bagi orang tua. Saking tidak pentingnya bermain, orang tua sering membiarkan peristiwa bermain itu berjalan begitu saja tanpa pendampingan.
Orang tua yang sudah sibuk dengan pekerjaan dewasanya telah mengesampingkan bermain sebagai belajar sesungguhnya. Orang tua belum dapat melihat peristiwa bermain adalah peristiwa belajar. Tidak ada urusan akademis dalam bermain yang bisa membuat anaknya pintar dari segi akademis. Ukuran pintar bagi anak dalam commonsense adalah pintar akademis. Maka, dalam urusan pendidikan anak, jika bermain itu tidak menghasilkan peningkatan nilai akademis, pasti tidak menjadi penting bagi orang tua.
Pun juga jika orang tua menganggap bermain itu penting, biasanya hanya bertahan pada usia dini , balita, PAUD, TK dan sederajat. Orang tua membelikan mainan-mainan anaknya dengan mainan impor dan tidak bisa diproduksi sendiri. Hal itupun kebanyakan hanya berlaku untuk mainan individu. Tidak banyak orang tua yang memfasilitasi peristiwa bermain bersama semua teman. Hal itu berlaku untuk kalangan orang tua di kota. Lain lagi di desa, jika tingkat ekonomi dan pendidikan berperan besar, maka peristiwa bermain pun menjadi sangat tidak penting di mata orang tua.
Bermain = berkarakter?
Apakah bermain itu berkarakter? Apakah kita bisa menjamin bermain itu lebih sekadar main-main? Apakah bermain itu bisa setara manfaatnya dengan belajar akademis di sekolah? Rasanya di tengah masyarakat yang sangat menghamba kepada nilai akademis, sangat tidak mungkin mengangkat derajat permainan pada level pendidikan karakter. Apalagi saat ini ramai-ramai dibahas tentang pendidikan karakter di sekolah.
Kali ini memang dunia pendidikan sedang hangat membicarakan pendidikan karakter. Terpantik dari merosotnya perilaku anak muda bangsa ini yang acapkali dianggap melenceng. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memaksa semua jajaran dibawahnya untuk menggabungkan tentang pendidikan karakter. Alhasil pendidikan karakter menjadi perkara populer untuk diwajibkan di sekolah-sekolah.
Pendidikan karakter dipopulerkan dengan sifat-sifat baik yang harus dibiasakan pada siswa. Berangkat sekolah tepat waktu, berperilaku sopan terhadap guru, berani bertanya, bertanggungjawab atas narasi akademis yang dibuat, dan lain sebagainya. Tentu ini menjadi hal baik yang berdampak pada siswa. Namun apakah cukup pendidikan karakter hanya di sekolah yang bukan merupakan suasana batin sesungguhnya para siswa. Beda ceritanya ketika di pesantren. Anak-anak setiap saat dalam kehidupan, dari mulai bangun hingga tidur selalu dibiasakan dengan karakter sangat baik dan religius.
Sebenarnya kalau kita mengamati lebih jauh aktivitas bermain anak-anak, kita bisa melihat fakta yang menarik. Kita bisa melihat anak-anak sesungguhnya belajar tentang karakter tanpa disuruh membiasakan karakter. Anak-anak belajar karakter tanpa kampanye yang formal dari pemerintah. Mereka tanpa sadar telah mencoba berbagai macam karakter dalam bersosialisasi dengan temannya. Tanpa adanya intervensi dari orang dewasa atau guru, mereka telah melakukan pendidikan karakter.
Ada satu kisah nyata yang terjadi dalam pandangan salah satu penggerak program bermain Kampung Lali Gadget. Ini terjadi saat bersantai menunggu pesanan makanan di warung pinggir sungai di desa. Ada dua anak memancing di atas jembatan. Anggap saja si kecil dan si besar, karena memang satu orang terlihat lebih dewasa dan besar, dan satu lagi terlihat sangat pantas jadi adik tingkatnya. Kasusnya adalah si kecil tak sengaja menyangkutkan kail milik si besar. Alhasil si besar pun marah dan kesal dan berkata “ kamu kok ngawur sih, tuh liat kailku jadi nyangkut, gara-gara kamu tuh! Ayo betulin ke bawah cepat!” kemudian si kecil sontak sungkan dan setengah ketakutan dan berkata “iya iya, habis ini kuambilkan, maaf ya” si kecil dengan tubuh mungilnya bersiap terjun dalam air yang lumayan dalam itu. Namun seketika itu si besar merentangkan tangannya di depan si kecil sembari menahan laju si kecil. Ia berkata “ udah, gak usah, biar aku aja, kamu nanti bisa tenggelam!” hari itu berakhir dengan hujan gerimis dan kembalinya kail si besar.
Dari cerita di atas kita bisa mengetahui bagaimana anak-anak ternyata belajar karakter bertanggungjawab dan toleransi. Hal itu terjadi tanpa dikampanyekan atau dipaksa dalam pembiasaan. Si kecil merasa harus bertanggungjawab karena menyangkutkan kail si besar. Sementara si besar merasa harus bertoleransi kepada tubuh kecil si kecil yang diperkirakan tenggelam jika masuk ke sungai mengambil kail. Sebenarnya anak-anak dalam situasi sederhana itupun sudah belajar karakter dengan mempraktekannya langsung tanpa banyak teori dan perintah. Hal itu sebenarnya sangat banyak terjadi pada dunia bermain anak. Apapun konten bermainnya, yang namanya bersosialisasi selalu membawa dampak penyesuaian-penyesuaian sikap. Ini yang terus menerus dilatih oleh anak dalam dirinya. Jadi sebenarnya pendidikan karakter itu sudah terjadi dalam bermain. Ini yang menjadikan bermain sama pentingnya dengan belajar di sekolah.
Peristiwa bermain tidak menjadi warisan?
Anak-anak kecanduan gawai, hingga tak tahu waktu. Orang tua mengingatkan anak yang kecanduan game online sampai tak sanggup lagi. Mereka menyerah dengan gawai yang terlanjur mereka berikan untuk anak. Gawai sudah meracuni setiap sendi syaraf anak hingga etika pun tak indahkan. Dulu sebelum ada gawai mereka dapat bermain di luar dan menghormati orang tua. Tapi tidak dengan anak-anak yang punya akses sembarangan terhadap gawai.
Ada sebuah pertanyaan, “Kenapa anak-anak sangat fanatik terhadap gawai, dan tidak mau bermain permainan tradisional?”jawabannya berupa pertanyaan sederhana “Anak-anak tahu permainan tradisional darimana? Sedangkan saat mereka lahir sudah ada gawai dengan segala game online nya dan saat itu sudah tidak ada permainan tradisional” jawaban sederhananya adalah “Tidak ada orang yang mengenalkan permainan tradisional ke mereka”. Orang tua yang seharusnya menjadi agen penyampai budaya kearifan lokal tersebut tidak melaksanakan tugasnya tersebut. Orang tua justru sibuk dengan gawai mereka sendiri dengan alasan pentingnya pekerjaan dan lain sebagainya.
Permainan tradisional adalah produk budaya yang harus disampaikan ke generasi selanjutnya. Indonesia memiliki kelimpahan berjuta permata yang sangat berharga berupa warisan tak benda. Warisan tersebut berupa sistem pengetahuan dan kearifan yaitu permainan tradisional. Bagaimana jadinya jika warisan tersebut tak sampai ke sistem pengetahuan masa kini? Anak adalah penguasa sistem pengetahuan masa kini dan masa depan. Tidak disampaikannya warisan ini membuat keterputusan jalur. Hilanglah percuma kebudayaan indah ini yang dahulu digagas oleh nenek moyang Bangsa Indonesia.
Anak-anak lahir pada lapisan generasi yang baru. Mereka lahir pada situasi dunia yang sudah maju, sudah ada internet cepat dan berbagai macam aplikasi canggih. Semua serba dimudahkan dan disederhanakan dalam sebuah layar tergenggam. Internet dan teknologi tidak memiliki kesalahan, yang salah adalah perilaku manusia yang tidak bijak mengatur porsi kemudahan internet dan penggunaan nilai-nilai luhur. Yang luhur dianggap kuno, yang mudah dianggap wajib dipakai dan yang kuno wajib ditinggalkan. Kira-kira begitu realita saat ini.
Permainan yang harusnya jadi kebiasaan dan ada dalam setiap sendi kehidupan anak, kini hanya menjadi hiasan etalase museum peradaban masa lalu. Bayangkan jika permainan tradisional hanya ada di museum-museum saja dan sudah dianggap tidak layak dimainkan! Permainan tradisional harus tetap diwariskan dan menjadi kebiasaan sehari-hari anak anak. Sistem hidup ini harus tetap hidup dan berkembang biak. Sejarah peradaban ini harus tetap jadi peradaban yang terus ada. Agar anak-anak tidak kehilangan jiwa sosialnya, ketuhanan, dan menghargai diri sendiri. Permainan tradisional memang mengajarkan sadar diri, sadar sosial, dan sadar Ketuhanannya.
Menggali harta karun dalam diri orang tua
Generasi milenial yang lahir antara tahun 1980 – 1995 saat ini memiliki ingatan yang sangat sedikit tentang permainan tradisional. Masa kecil mereka memainkan permainan tradisional, tapi karena mereka tidak punya khazanah yang cukup di masa kecil, maka saat dewasa juga tidak banyak yang bisa diingat. Generasi milenial tumbuh saat internet berkembang. Saat mereka sudah cukup dewasa, internet seperti gurita yang mencengkeram dunia dengan tentakelnya.
Generasi x yang lahir pada tahun 1961 – 1980 saat ini 40-60 tahun. Mereka memiliki khazanah permainan tradisional yang lumayan banyak. Mereka sangat bangga menceritakan masa-masa kecil mereka yang serba terbatas dibandingkan dengan masa sekarang. Mereka sangat bangga dengan kesederhanaan masa kecil mereka. Mereka sanggup mengeksplorasi lingkungan dan segala ornamennya menjadi ratusan bahkan ribuan permainan. Generasi ini memiliki warisan permainan yang cukup banyak. Mereka belum teracuni dengan mainan impor sehingga apa yang dimainkan adalah segala hal di sekitar mereka. Alam, tanaman, batu, tanah, air, angin dan lain sebagainya. Mereka mendapat warisan dari generasi baby boomers. Saat ini generasi X sudah memiliki anak yang sudah dewasa bahkan sudah memiliki cucu.
Baby Boomers lahir pada tahun 1946 – 1960 ini bisa dikatakan sebagai adiknya Republik Indonesia. Bagaimana tidak, mereka lahir setelah kemerdekaan dan hidup dalam masa-masa mempertahankan kemerdekaan. Saat ini mereka berusia 60 – 75 tahun dan tentu banyak di antaranya telah tutup usia. Sebagian dari mereka mengalami kepikunan dan tak dapat menghafal cucu mereka yang berasal dari generasi milenial maupun generasi generasi Z, apalagi generasi Alpha. Mereka sebenarnya sangat kaya dengan warisan permainan tradisional. Mereka benar-benar hidup dalam masa kesulitan mempertahankan kemerdekaan dan tertindas dengan segala kepentingan kolonial. Aneka permainan mereka pun lebih kuno lagi. Selama sumber daya alam dan pemikiran dalam masa anak-anak generasi ini masih ada, maka permainan mereka pun sangat bisa diwariskan ke generasi Alpha, meskipun harus melewati tiga generasi sebelumnya.
Yang bisa dilakukan generasi saat ini adalah bergerak meminta warisan kepada mereka generasi X dan generasi baby Boomers yang masih hidup di dunia ini. Warisan ini sangat layak untuk diminta dan dikembangkan saat ini. Warisan ini berupa permata berkilau yang menjadi kelimpahan bangsa Indonesia. Permainan Tradisional harusnya tak lekang oleh waktu dan tidak tergerus perkembangan zaman. Generasi milenial kini dianggap sebagai generasi melimpah yang sanggup menggerakkan perubahan ini. Mereka dianggap melimpah keberadaannya dan sering digunakan sebagai bonus demografi.Kunci mewariskan permainan tradisional ada pada generasi milenial. Mereka peka terhadap perubahan, namun masih memiliki sambungan dengan warisan peradaban masa lalu.
Cara meminta warisan ini adalah duduk bersama antar generasi dan menanyakan “Bapak/Ibu dulu pernah bermain apa saja di masa kecil?” jika kesulitan mengurai memori masa lalu, bisa dipancing dengan pertanyaan yang lebih spesifik. “Bapak/Ibu dulu ketika di sawah bisa memainkan apa saja ya? Permainan rumput, permainan batu, jaman dulu bagaimana saja ya?” Pertanyaannya juga bisa dikembangkan dengan variabel waktu/musim atau bahkan lokus (tempat). Misal menanyakan permainan di musim hujan, permainan di musim kemarau, permainan saat banjir, permainan saat panen, permainan di pantai, permainan di hutan, permainan di sungai, dan sebagainya.
Harusnya setiap desa punya lahan, peristiwa, dan pelestari bermain
Desa adalah rumah bagi berjuta kearifan dan kebudayaan. Sistem kehidupan sosial, agama, budaya, alam, pangan, dan sebagainya tumbuh subur dalam tubuh desa. Desa mencerminkan kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Tidak banyak intrik, atau kapitalisasi di desa-desa. Kini desa banyak ditinggalkan anak mudanya. Desa tak lagi menjadi lahan yang menguntungkan bagi anak muda milenial. Desa tak ubahnya rumah bagi kakek dan nenek saja, tempat para baby boomers mencari rezeki dengan bertani dan beternak. Desa dianggap bukan rumah milenial untuk membangkitkan ekonomi. Desa hanya populer lewat story media sosial anak muda setahun sekali dalam ritual mudik lebaran. Mereka berbangga dengan indahnya desa dalam sekali setahun. Dalam hari-harinya anak muda bangga dengan hiruk pikuk kota dan segala sistem dan produk branded. Perputaran ekonomi yang mampu mengangkat taraf hidup diyakini hanya di kota.
Desa ditinggalkan, desa dicampakkan, hingga para pengembang perumahan, pemilik modal membeli berhektar-hektar tanah di desa untuk dijadikan perumahan/pabrik. Tidak ada yang melawan karena para baby boomers dan generasi X di desa butuh uang untuk hidup. Desa pelan-pelan diinvasi oleh pembangunan ala-ala kota. Lahan bermain hilang, sawah hilang, sungai mengecil, peristiwa bermain lenyap, hampir tidak ada pelestari permainan tradisional. Para kapitalis telah merubah wajah desa menjadi industri dan peradaban modern. Sawah-sawah tidak lagi ditanami padi atau palawija. Kini sawah ditanami beton besi-besi raksasa.
Jika ingin tetap menghiasi wajah anak-anak dengan senyuman dan tawa riang, maka di setiap wilayah idealnya memiliki lahan bermain. Baik itu di desa maupun di kota tetap harus ada fasilitas bermain anak. Memang bermain lebih bebas di desa karena setiap tempat selalu aman dan tak berbayar. Kebun, sawah, pekarangan, sungai, lembah, bukit, dan sebagainya bisa diakses dengan gratis. Anak-anak di kota lebih kesulitan mengakses lahan bermain, selain karena lingkungan rumah sempit , mereka harus melalui prosedur jika ingin masuk ke taman-taman kota. Mereka juga harus membayar saat masuk ke wahana bermain seperti kolam renang atau playground.
Selain lahan, adanya peristiwa bermain dan adanya pelestari peristiwa bermain juga sangat penting adanya. Jika ada lahan bermain tanpa adanya peristiwa bermain akan percuma. Anak-anak perlu hadir di lahan bermain sehingga bisa tetap terjadi peristiwa bermain. Peristiwa bermain terjadi karena adanya tempat, sistem sosial, dan alat bermain. Anak-anak harus hadir di lahan bermain, menggerakkan sistem sosial saat bermain , dan mempergunakan alat bermain. Alat bermain tidak melulu tentang mainan atau benda bermain. Anggota tubuh, nyanyian, dan lain sebagainya juga termasuk alat bermain.
Pelestari peristiwa bermain juga sangat perlu adanya. Harus ada orang yang menjaga peristiwa bermain dan lahan bermain tetap ada. Inilah yang dilakukan oleh pelestari permainan. Mereka menyiapkan dan mengundang anak-anak bermain. Mereka juga sekaligus sebagai pendamping dan bertugas memastikan keamanan anak-anak bermain. Pelestari tidak hanya berasal dari sukarelawan atau masyarakat minat khusus. Orang tua juga bisa berperan sebagai pelestari bermain sambil memandu anak-anak belajar melalui permainan.
Pentingnya lahan bermain
Krisis lahan bermain menjadi salah satu isu dalam perlindungan anak. Dulu banyak sekali lahan-lahan kosong tak terpakai yang bisa dimanfaatkan anak untuk bermain. Halaman depan rumah, kebon kosong, pinggir sungai, lapangan kampung, sawah pasca panen, pematang sawah, dan lain sebagainya merupakan pilihan yang sangat variatif untuk anak-anak desa bermain. Ketika di kota memang agak terbatas untuk hadirnya lahan bermain. Jalan depan perumahan, taman kota, sudut gang, teras sempit, pojokan perumahan, dan sebagainya merupakan alternatif yang dapat dipilih anak-anak kota. Selebihnya mereka diberi pilihan wahana-wahana berbayar untuk memuaskan hasrat bermainnya.
Jika lahan bermain sudah terbatas, anak-anak sangat cerdas mengisi ruang-ruang lain. mereka seperti air yang bisa menempati semua wadah tanpa mempertimbangkan bahaya. Biasanya anak-anak memandang jalan adalah tempat bermain yang luas. Sedangkan jalan adalah akses kendaraan yang lalu lalang dengan berbagai kepentingan orang dewasa. Hal ini menjadi bahaya jika terjadi kesenjangan antara kebutuhan anak dan kebutuhan orang dewasa. Anak yang bermain akan tertindas dan dilakukan semena-mena jika menghalangi akses orang dewasa ini. Belum lagi orang tua yang selalu memarahi anak-anak yang bermain di jalan. Jika akal mereka untuk memenuhi hak bermain saja tidak dikawal dan diadvokasi, mereka akan lari ke permainan yang lebih praktis dan tidak membutuhkan lahan bermain. Praktis solusinya, gawai dan game online.
Anak-anak mempergunakan lahan bermain bukan berarti ingin menyerobot lahan. Mereka hanya ingin akses luasan ruang tak terbatas untuk mengasah raga dan sosial mereka. Berlari, melompat, merangkak, melempar, mengorek tanah, adalah perilaku yang diyakini dapat mengembangkan aspek motorik anak-anak. Berbagai kecerdasan pun dapat timbul dari beberapa perilaku ini. Jika saja di PAUD anak-anak difasilitasi untuk tumbuh kembangnya, bermainnya, melompatnya, motorik, kognitif, afektifnya, maka saat mereka tumbuh dalam jenjang selanjutnya sesungguhnya mereka juga masih berhak mendapatkan itu. Ini adalah bekal menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas dan kuat.
Lahan-lahan yang ada juga sangat berperan dalam perkembangan anak. Bagaimana tidak, lahan-lahan itu memiliki karakteristik masing-masing. Tekstur lahan membuat anak-anak semakin cerdas. Syaraf-syaraf kaki (bermain tanpa alas kaki) akan semakin memiliki banyak referensi. Mencoba lahan tanah terasa tanah, lahan kerikil terasa kerikil, lahan rumput terasa rumput, lahan berlumpur terasa lumpur, lahan pasir terasa berpasir. Bayangkan betapa kaya nya syaraf anak-anak merasakan banyak pengalaman sentuhan. Mereka pun tahu akan bahaya-bahaya lewat pengalamannya terjatuh, terpeleset, terjerembab, tergores, dan sebagainya. Mereka akan lebih berhati-hati jika mereka pernah merasakan bahaya yang membuat syaraf merasakan sakit. Mereka semakin cerdas dan tahu akan bahaya. Lain halnya dengan mereka yang terus ketakutan duluan ketika belum pernah merasakan alam sesungguhnya. Mereka hanya mengandalkan asumsi atau ketakutan yang ditimbulkan orang lain.
Materi telah dipresentasikan dalam Podcast Teras Bermain Ep. II
Link Terkait
YouTube: @serbukkayu1548
Spotify: Serbuk Kayu
Unduh Zine: ZineSB#2
Cetak Zine: https://docs.google.com/forms/d/1_g46y7h9OkBi1jdxGLJjq9gE3sIGQzVjA1rJwEhGo6w/edit