Ayos Purwoadji adalah seorang penulis kurator lepas yang berdomisili di Sidoarjo dan berproses di Surabaya. Kegemaran Ayos pada dunia seni rupa dimulai pada saat ia kuliah dimana ia sering kali berkunjung ke Galeri untuk menyaksikan pegelaran seni. Dalam prakteknya sebagai seorang kurator Ayos banyak menyingukan arsitektur yang memang sangat diminati dengan seni rupa.
Dalam wawancara kali ini Arsub akan sedikit mengulik mengenai Bung Ayos dan proses dari awal berkaris sebagai soerang kurator hingga saat ini, dan tentu saja bagaimana pembacaan bung Ayos terhadap skena seni rupa Surabaya.
Proyek seni rupa apa saja yang pernah anda buat ?
Penyelengaraan pameran pertama yang pernah saya buat yaitu ditahun 2011, saat itu saya masih seorang mahasiswa. Saya membuat satu residensi namanya ‘traveler in residence’ yang melibatkan seorang blogger perjalanan sekaligus ilustrator untuk tinggal selama sebulan di Surabaya, dan merekamnya melalui medium cat air untuk kemudian dipamerkan di CCCL Surabaya, yaitu pengalaman membuat pameran pertama di Surabaya. Setelah itu di tahun 2014 saya mengikuti mengikuti program lokakarya kuratorial yang di adakan oleh DKJ dan Ruangrupa yang itu membawa saya ke sebuah kerja-kerja kekuratoran yang lebih serius lagi, terencana, dan matang. Selanjutnya pameran yang pernah saya bikin tahun 2015 adalah pameran arsip arsitektur Ir. Haryono Sigit, saya memang suka sekali dengan arsitektur, dan saya juga banyak membuat pameran arsitektur yang bersingungan dengan seni rupa. Terkahir kali pameran yang saya adakan adalah pameran tunggal seniman Jepang di C2O library.
Proyek yang paling berkesan yang pernah anda buat ?
Hmmmm….., jadinya proyek yang paling berkesan sampai hari ini belum selesai. Mulai 3 tahun belakangan mulai tahun 2015 saya melakukan riset arsitektur yang disebut ‘juragan style’ dan itu cukup menguras energi dan pemikiran saya. Sudah pernah dilakukan pameran 2016 di Jakarta, tapi saya sedang memikirkan cara untuk membawa pameran ini berkeliling di beberapa tempat di Indonesia. Menurut saya cukup berkesan sih, karena menurut saya pameran ini membuat saya menemukan temuan-temuan baru yang itu menuntun saya untuk masuk lebih serius lagi ke dalam riset-riset arsitektural, jadinya kalo ditanya proyek apa yang paling berkesan proyek ‘juragan style’ itu yang dimulai tahun 2015 sampai sekarang belum selasai, semoga dalam waktu dekat risetnya sudah bisa diselesaikan.
Apa tantangan yang anda hadapi selama bekerja menjadi kurator seni rupa di Surabaya ?
Saya masih cukup baru untuk mengenal dan memetakan medan seni rupa di Surabaya, namun sejauh yang saya pahami ada satu jurang generasi anatara kurator yang lebih dulu muncul di Surabaya dengan kurator-kurator muda yang muncul belakangan. Dan saya pikir jurang generasi ini yang mungkin menjadi problem, karena akhirnya kita tidak punya orang-orang yang menempatkan dirinya sebagai produsen pembuat pameran, yang itu berpengaruh terhadap dunia seni pada umumnya. Yang akhirnya temen-temen tidak punya cukup wadah untuk membuat pameran.
Isu apa yang menjadi concern anda selama bekerja menjadi kurator seni rupa ?
Concern nya banyak dan berubah-ubah, jadinya sejak tahun 2015 saya memiliki concern yang berkembang terus, awal kali yang saya pikirkan adalah bagaimana cara mendisplay, jadinya itu menjadi concern utama saya pada saat itu. Tapi berkembang terus akhirnya belakakng ini saya sedang memikirkan bagaiman kerja-kerja kekuratoran bekerja diluar whitecube system, diluar galeri, dan diluar museum, bagaiman kurator bekerja dan membuat projek dengan masyarakat. Itu yang sedang menjadi pemikiran terbesar saya saat ini.
Bagaiman keadaan skena seni rupa Surabaya menurut anda ?
Wah ini agak susah menjawab bagaiman pendapat saya mengenai skena seni rupa surabaya…. ya, saya tidak akan menjawabnya secara historical karena saya tidak memahami itu secara mendalam, namun akhir-akhir ini mulai muncul inisiatif dari anak muda, mulai muncul seniman baru dengan gaya ungkap dan gaya ekpresi baru, yang saya rasa cukup menarik. Karena secara umum memang ada pengaruh globalisasi dan referensi internet cuma pada akhirnya seniman muda Surabaya cukup memiliki karakter yang berbeda dari seniman muda di Jogja , Bandung atau Jakarta, yang itu saya lihat sebagai peluang, potensi untuk dikembangkan di masa depan.
Apa yang anda maksud ‘berbeda’ dalam statement anda yang menyebutkan bahwa seniman muda Surabaya berbeda dari seniman muda di kota lain ?
Perbedaanya mungkin karena kita punya satu apa ya…., satu konteks sosial budaya yang berbeda, akhirnya membawa perbedaan juga terhadap bentuk-bentuk karya. Contohya kayak misalkan beberapa seniman menunjukan identitas dan kelokalan dia yang cukup kuat seperti Suvi Wayudianto, terus mungkin beberapa seniman juga punya gaya-gaya yang mendekat ke masyarakat seperti ‘milisi fotokopi’, yang itu cukup berbeda bila ‘milisi fotokopi’ disandingan dengan temen-temen lain yang ada di Jogja, jakarta, Bandung itu sangat berbeda, contoh singkatnya seperti itu sih. Tapi yang lain pun juga sama seperti ‘Waftlab’ juga berbeda dari ‘Lifepach’, itu ada semacam kualitas keambyaran dan kualitas keembongan yang cukup menarik untuk di ekplore. Jadinya karena di Surabaya ekosistem seni rupanya belum mapan akhirnya kita menyandarkan kekaryaan kita ke bentuk-bentuk yang lebih raw dan ambyar. Misalkan ‘Melawan Kebisingan Kota’, nah itu cukup berbeda bentuknya jika itu dibandingan dengan ‘Jogja Noise Bombing’, dari cara mengulik alat, dari cara mereka melakukan performance itu saya rasa jauh berbeda, dan itu selalu dipengaruhi oleh sosial kultural Surabaya atau bahkan Jawa Timur. Dan saya rasa itu sangat menarik.
Jadi secara umum skena seni rupa di Surabaya sudah cukup baik atau masih kurang ?
Secara umum skena di Surabaya mulai menunjukan potensi yang menarik. Itu jawaban saya.
Adakah yang perlu diperbaiki dari skena seni rupa di Surabaya ?
Yang perlu diperbaiki sebetulnya adalah produktivitas, mungkin yang membedakan lanskap seni rupa disini dengan kota yang lain adalah produktivitas. Saya sempat wawancara dengan seniman muda Surabaya untuk keperluan artikel yang saya tulis buat Sarasvati, memang di Surabaya modus kekaryaan nya masih sangat subsisten gitu ya, karena sebetulnya seni rupa berkarya dan berkesenian masih belum menjadi modus utama dalam mencari penghidupan bagi seniman muda Surabaya, yang itu akhirnya membuat mereka tidak punya beban untuk mereka memacu dirinya lebih produktif. Jadinya masih cukup selaw kalao mau kerja ya kerja, kalo mau pameran baru bikin karya, jadinya belum ada suatu tuntutan untuk membuat karya secara continue itu belum ada atau belum terlihat. Jadi saya pikir apa yang harus di benahi dalam jangka waktu saat ini ya produtivitasnya, seniman lebih banyak membuat karya lebih banyak lagi aktor-aktor diluar seniman yang membuat pameran, diskusi, nah itu yang saya pikir perlu diambil tindakan untuk beberapa tahun kedepan.
Kalau dikembalikan pada anda, apa yang sudah anda lakukan untuk memperbaiki atau mengisi yang kurang dari skena disini ?
Saya pribadi secara personal gak muluk-muluk. Sebenarnya dalam beberapa tahun belakangan ini membawa seniman luar ke Surabaya dan membawa seniman surabaya ke luar. Itu inti dari apa yang saya kerjakan beberapa tahun belakangan, dan mungkin akan saya lakukan hingga beberapa tahun ke depan, jadinya memperluas referensi seniman Surabaya dengan cara mengundangan banyak teman teman untuk datang ke Surabaya, membuat pameran teman-teman dari luar Surabaya untuk pemeran di Surabaya, sebetulnya yang lebih penting lagi untuk mendorong teman-teman Surabaya untuk pergi keluar entah itu untuk pameran, residensi, pokoknya seniman Surabaya harus keluar.
(dnm)
link cv & karya : –
artikel terkait : http://serbukayu.org/2018/09/03/menarik-yang-luar-mendorong-ke-luar-yang-dalam/
video : https://youtu.be/xOs7gbR8lss