Oleh: Alfian Bahri
Keterlibatan seni dalam pendidikan seringkali terpinggirkan. Stigma umum yang sering terlontarkan, mau jadi apa ambil jurusan seni? Mengindikasikan fungsi, peran, dan kedudukan seni dalam upaya mencapai karakter keindahan terbunuh sejak dalam pilihan.
Masyarakat telah membunuh keluasan seni dan berkesenian. Bahkan masyarakat telah menyisihkannya secara sistematis, kultural, dan tuntutan pasar. Tidak cukup mengherankan bila akhirnya anak-anak Indonesia tidak berani mempertaruhkan masa depan hidupnya ke seni. Iklim berkesenian menjadi kurang diminati, nirfungsi, dan receh.
Seni selain selalu dikagumi sebagai keindahan, nyatanya juga sebagai anak tiri dalam pendidikan. Walaupun seni secara estetika merupakan kajian multidisipliner, mata praktik pendidikan tetap saja gagap melibatkannya. Kelas-kelas dan sekolah kurang mampu membicarakan, membiasakan, dan memasukkan seni secara mendasar pada proses pendidikan.
Saat masih belajar dasar calistung, kita pasti merasakan belajar dengan buku bergambar. Berhitung Matematika melibatkan gambar binatang dan buah-buahan. Saat menghapal nama-nama benda juga lebih sering menggunakan nyanyian. Perihal soal cerita pun demikian, ada ilustrasi sederhana yang diproyeksikan sebagai alat bantu pemahaman.
Artinya, sangat memungkinkan belajar dengan melibatkan seni. Kedudukannya bukan mewakili seni sebagai karya, melainkan perantara, properti, sekaligus media pembelajaran. Namun persoalannya, pola atau model seperti itu kurang begitu dominan, dan bahkan terputus setelah berada pada jenjang setelah calistung.
Orientasi Keindahan Tagore
Mengurai keterputusan tersebut, kita perlu terlebih dahulu mencari hubungan antara seni, pendidikan, dan karakter. Membaca pikiran pendidikan Rabindranath Tagore cukup relevan. Selain dikenal sebagai seorang spiritualis, humanis, idealis, naturalis, dan internasionalis, pemenang Nobel Sastra 1913 tersebut juga seorang educator yang membawa semangat kebebasan dan keindahan (estetika) dalam pendidikan India bahkan dunia.
Tagore sendiri dalam profilnya adalah seorang seniman, budayawan, dan sastrawan. Seni, berkesenian, dan estetika tentu tidak bisa dilepaskan dalam orientasi corak pikirannya. Menurut Tagore, tujuan tertinggi hidup manusia adalah keindahan. Manusia disebut paripurna ketika dapat mencerna segala hal yang ada di sekelilingnya sebagai keindahan. Ketika manusia sudah mencapai perasaan keindahan, maka kebenaran dan kebaikan akan hidup tanpa terpaksa, tanpa harus dipaksa-paksa, dan tanpa merasa terbebani.
Tagore bersikap bahwa justru tujuan tertinggi hidup manusia adalah merasakan keindahan, baik dalam kebenaran maupun dalam kebaikan, tidak sekadar pada ranah estetik tetapi juga pada ranah etik, logis, mencerna semuanya sebagai keindahan. Tagore mengatakan, “Keindahan adalah kebenaran yang tersenyum saat menyaksikan wajahnya sendiri pada cermin yang jernih.”
Arti filosofi keindahan pendidikan dari Tagore mencerminkan bahwa manusia harus mencapai ketulusan sikap, perbuatan, dan semangat hidup. Namun persoalannya, menjadikan keindahan sebagai bagian tujuan karakter pendidikan tidaklah mudah. Keindahan (estetika) sendiri dalam pengertiannya bahkan cenderung problematik. Tapi setidaknya, ada pintu masuk utama dan umum yang dapat dimaksimalkan dan dimulai untuk mencapai itu, yakni melalui seni dan berkesenian.
Mengenalkan, mengajarkan, mengorientasikan, dan mengapresiasikan seni dalam proses pendidikan akan secara langsung mendekatkan nilai keindahan itu sendiri. Lantas, bagaimana memulai hal tersebut di iklim pendidikan Indonesia sekarang?
Kita Melupakan Seni
Dalam praktik pendidikan dan pembelajaran yang ada di Indonesia, sulit memungkiri kalau seni memang lebih sering ditempel pada ruang ekslusif milik para pemilik bakat. Bukan diajarkan pada konsep-konsep general sebagai media dan kolaborasi pembentukan karakter. Seni belum mampu ditempatkan pada proses alih wahana yang adaptif.
Paling sederhana dapat dilihat pada materi mata pelajaran. Kapan terakhir kita bermain cat, mencorat-coret kanvas, kertas, atau berekspresi visual? Pernahkah persoalan sosial diajarkan dengan bantuan desain-desain artistik? Lalu, seberapa jauh seni diperankan dan dilibatkan dalam media pembelajaran?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sederhana, tapi cukup lama kita memutuskan menjawabnya. Hal tersebut mengindikasikan secara tersirat, bahwa kehadiran seni dalam pendidikan benar-benar ekslusif. Sekalipun seni hadir, itu untuk eksistensinya sendiri. Bukan untuk dan sebagai pendidikan.
Dengan demikian, cukup sulit untuk tidak mengatakan kalau hubungan pendidikan dan seni memang masih berkutat pada karya atau wujud materi, bukan sebagai proses panjang pembentukan karakter dan pendidikan. Paradigma ini yang harus diubah. Dari pendidikan dalam seni, menjadi pendidikan melalui seni. Terlebih lagi bila tujuan pendidikan (keindahan) Tagore adalah orientasi utamanya.
Pendidikan melalui seni berarti menjadikan pendidikan sebagai ruang tumbuh sekaligus alat, sarana, dan media. Bukan sebagai turunan dan pewarisan nilai luhur. Harapan akhir seni bukan menjadikan anak didik pandai menggambar, melukis, mematung, atau lainnya. Melainkan sebagai wahana berekspresi, berimajinasi, berkreasi, berekreasi, dan berapresiasi dalam multidisiplin ilmu.
Misalnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Seni dapat dihadirkan dalam membantu penguatan pemahaman teks. Seperti mengilustrasikan puisi-prosa, mendesain estetika poster, memancing abstraksi melalui visual, menjadikan foto sebagai pemantik hipotesis. Sekalipun pembelajaran soal teks, tapi tidak melulu tentang teks.
Demikian pula pelajaran IPS. Seni perlu dijadikan wahana sekaligus mitra dalam menjelaskan persoalan ekonomi, geografi, dan sosiologi. Misalnya pemahaman terhadap masalah kemiskinan. Melibatkan potret foto jurnalistik, semiotik pewarnaan, dan lukisan edukatif adalah alternatif utama sebagai penunjang strategi materi pembelajaran.
Pada pelajaran lainnya juga sangat memungkinkan mengadopsi persoalan serupa. Kuncinya dengan kolaborasi. Seni terutama nilai estetikanya sebagai disiplin ilmu tidak boleh menjadi independen apalagi ekslusif. Seni harus menjadi landasan dalam berpikir, bertindak, dan bersikap. Itulah yang dinamakan karakter merasakan keindahan.
Selaras dengan itu, Dewey mengatakan, seni seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan, bukan untuk kepentingan seni itu sendiri. Tesis Plato tentang Pendidikan Seni yang terkenal juga demikian, “Thats art should be the basis of education (seni seharusnya menjadi dasar pendidikan).
Untuk menjadikan seni sebagai aspek fundamental dalam karakter pendidikan, seni harus menjadi bagian dasar pembelajaran, entah sebagai media, wahana, atau bentuk eksistensi lainnya, sebagaimana sastra, budaya, dan agama dipahami sebagai elemen mendasar dalam pembentukan karakter pendidikan.
Dampak dari hal tersebut, perasaan manusia akan lebih mudah disentuh dan bergairah. Bila musik adalah bahasa universal, rasanya seni juga perlu dipahami demikian.
Dialog Berkesenian
Selain sebagai anak tiri, seni juga lebih banyak kurang didialogkan. Pernahkah seni diintepretasi dalam suasana kelas? Pertanyaan itu menarik untuk membuka lebih mendalam pembicaraan soal peran, fungsi, dan kedudukan seni dalam pembelajaran.
Banzky seorang seniman misterius, mengunggah gambar di akun media sosialnya dengan latar belakang tembok yang disiram cat hijau. Menariknya, di depan tembok tersebut terdapat pohon besar gundul beserta cabang kekarnya. Dilihat dari perspektif yang utuh, siraman cat hijau di tembok tersebut mewakili dan menyerupai wujud daun atas pohon gundul di depannya. Postingan tersebut ramai jadi perbincangan. Terlebih lagi para penggemar Banzky.
Gambar: www.banksy.co.uk
Tidak kalah menarik juga, soal karya seni Pisang Dilakban, Karya Maurizio Catellan yang berjudul “Comedian” yang dipamerkandi galeri milik Emmanuel Perrotin di Art Basel, Miami Beach. Ada tiga pisang yang dipamerkan, dan kedua edisi sebelumnya terjual US$120.000 kepada dua orang dari Prancis. Namun pada edisi ketiga ini, pisang justru dimakan oleh seniman pertunjukan lain, David Natuna. Menyikapi hal tersebut, Lucien Terras, direktur hubungan museum, mengatakan karya itu masih bisa diselamatkan. Alasan lanjutannya, “Comedian” merupakan sebuah ide. Bukan soal karya. Jadi idenya akan terus dibicarakan dan terselamatkan.
Gambar: www.ionajournal.ca
Baik kasus Banzky dan juga Pisang Lakban pada titik tertentu dapat dinilai negatif dan berlebihan. Namun dari potret seni, kita sebenarnya diajak untuk mengobrol dengan keindahan, nalar kritis, kepedulian, gagasan, ide, dan pikiran. Ajakan tersebut berupa intepretasi atas estetika.
Di sekolah, seni seringkali dinilai dan dievaluasi dengan angka-angka dan penampilan fisiknya, sementara intepretasi seni sering terabaikan. Akibatnya, ruang untuk berdialog dan menginterpretasi seni buntu. Padahal di sinilah nilai, estetika, esensi, dan kedudukan sebenarnya dari seni dapat ditemukan.
Kalau kita memakai kacamata edifikasi Richard Rorty, intepretasi adalah nyawa dalam membangun pendidikan. Lewat intepretasi, proses berdialog, berbincang, dan berbicara akan tumbuh. Bagi Rorty, seseorang dapat memperoleh pengetahuan lewat diskusi dan dialog dengan orang lain. Lewat percakapan atau perbincangan, kita dapat memperoleh pengetahuan. Sedangkan hermeneutik dalam hal ini menjadi aktivitas wajibnya.
Lebih jauh Rorty membagi proses edifikasi dalam tiga tahap, sosialisasi, individuasi, dan keterlibatan ironis. Gampangnya, sosialisasi adalah tahapan memperkaya kosakata, mengenal sekaligus menerima perluasan dan pemberian. Lalu individuasi, saat seseorang mulai mampu mengambil jarak dan membuat keputusan mengenai bagaimana harus hidup. Sebelum akhirnya masuk dalam keterlibatan ironis, ketika subjek hidup mulai mampu terlibat secara kritis, terbuka, dan terus mencari mana yang paling berguna dan paling kontekstual menghadapi persoalan atau tantangan.
Dengan meminjam pikiran Rorty, seni akan menemukan rumah ternyamannya, yakni dialog, perbincangan, percakapan, dan pergulatan soal intepretasi itu sendiri. Tujuan akhirnya tentu adalah menemukan nilai yang lebih berguna.
Suatu Langkah Praktis
Tidak mudah memang membicarakan seni dan berkesenian dalam konteks pendidikan dan budaya Indonesia, terlebih lagi dengan iklim kapitalisasi pasar seperti hari ini. Namun, beberapa upaya praktis yang bisa tetap diupayakan dengan sederhana antara lain:
- Guru dapat lebih fokus pada pendekatan pembelajaran melalui seni, di mana seni digunakan sebagai alat untuk mengajarkan konsep-konsep akademik dan mengembangkan keterampilan kreatif, ekspresif, dan kritis bagi siswa.
- Peningkatan keterlibatan dan dialog. Penting untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam seni melalui dialog, diskusi, dan intepretasi karya seni. Guru dapat menciptakan lingkungan yang mendukung percakapan terbuka dan reflektif tentang seni. Hal tersebut memungkinkan siswa untuk mengungkapkan pandangan dan pemikiran siswa.
- Integrasi seni dalam kurikulum. Seni dapat diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran, seperti Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan disiplin ilmu humaniora lainnya sebagai cara untuk memperkaya pengalaman pembelajaran siswa dan mempromosikan pemahaman yang lebih dalam tentang materi.
- Pelatihan untuk guru. Harus diyakini bersama, bahwa guru memang merupakan kunci dalam pendidikan. Dalam hal ini guru perlu mendapatkan pelatihan dan dukungan yang memadai dalam menggunakan seni sebagai alat pembelajaran. Ini termasuk pemahaman tentang konsep seni, teknik pengajaran seni, dan cara mengintegrasikan seni ke dalam kurikulum.
- Pemberdayaan siswa. Keaktifan siswa adalah orientasi utama pendidikan humanis. Itu sebabnya siswa perlu diberdayakan agar mengekspresikan diri melalui seni dan merasa bahwa kontribusinya dihargai. Guru dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan karya seni, berbagi dengan kelas, atau komunitas. Tujuan akhirnya tentu adalah terbukanya ruang dialog, kritik, dan perkembangan.
Sudah saatnya kesadaran terhadap persoalan hubungan seni dengan pendidikan diorientasikan pada ruang-ruang yang baru, segar, dan penuh penyesuaian. Memasukkan unsur seni dan berkesenian sangat perlu dijadiakan prioritas implementasi. Entah sebagai alat, wadah, sarana, atau karya. Dengan begitu, keindahan dalam hidup, berpikir, dan bersosialisasi mencapai titik terbaiknya secara universal.
Materi telah dipresentasikan dalam Podcast Saling Bermain Ep. III
Link Terkait
YouTube: @serbukkayu1548
Spotify: Serbuk Kayu
Unduh Zine: ZineSB
Cetak Zine: https://docs.google.com/forms/d/1_g46y7h9OkBi1jdxGLJjq9gE3sIGQzVjA1rJwEhGo6w/edit