Participatory Art, Video, & Performance Art
2022
Pengantar karya :
Makan dimakan termakan omongan pribadi akan reflektif kodrat kehidupan manusia. Berbicara soal permasalahan pangan di Indonesia tentu masih terbilang belum bisa dianggap tuntas, bagaimana tidak pasalnya pertumbuhan di bidang ekonomi masih terbilang kecil, peluang-peluang kerja masih sangat kecil, dan masyarakat kelas dua masih mendominasi di Negara ini. Padahal pemerintah sudah pasti tidak tutup mata akan kesenjangan yang terjadi di Negara ini. Betul bukan, seakan hampir tidak mungkin bila Negara menempatkan rakyatnya sendiri. Jelas tidak mungkin pimpinan Negara mencampakan tukang Bakso yang jelas selalu keliling komplek menjajakan publikasi partai politik ditambah dengan pedas ekstra sambal cibiran mulut rakyat kelas dua. Menggelitik memang, namun dari kasus tersebut tentu memberikan dampak yang cukup mencengangkan.
Desas desus wacana politisasi lewat makanan bisa saja menjadi wacana publikasi eksistensi suatu Negara, mie asal Indonesia contohnya menawarkan rasa Indonesia sampai ke mancanegara. Dalam kasus ini terbilang cukup apik namun bisa menjadi urgen yang cukup menarik, bayangkan saja bila eksistensi sebungkus mie lebih kokoh dibanding eksistensi sebuah Negara yang dibilang maju. Bukan hanya makanan minuman beralkohol asal nusantara juga sukses dikenal luas di belahan bumi ini, sebut saja Ciu asal Bekonang dengan motto cinta ini untuk mu atau Arak Bali yang cukup terkenal dikalangan turis yang berkunjung ke pulau Dewata jelas-jelas memberikan point plus pada eksistensi suatu Negara lewat publikasi online dan offline.
Di usianya yang ke sebelas tahun ini Serbuk Kayu sebagai kolektif yang berdomisili Surabaya sejatinya tidak terfokus dalam permasalahan di paragraf atas, point penting pembahasannya terletak dari sudut negosiasi tukar kolektif pangan. Sebenarnya konsep kolektif pangan sudah dilakukan dari zaman kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, contohnya Lumbung pangan yang berisi produk pertanian di desa-desa di era itu sukses menampung pangan seluruh masyarakatnya dan cukup efektif menanggulangi krisis pangan di satu kerajaan. Konsep-konsep siklus kehidupan ini cukup memberikan inspirasi pada performance art yang akan ditampilkan oleh kru performance art di Visual Rekan Exhibition.
Dalam prakteknya teman-teman performance artist akan menyediakan space beserta beberapa bahan pangan untuk audience, dan sebagai negosiasi tukar audience akan menuliskan resep makanan favorit secara bebas yang nantinya akan di install menjadi artefak satu karya yang sedang dipamerkan. Artefak performance artist berupa gerobak dengan konsep ala-ala caravan dijadikan satu karya interaktif bagi audience dan mengajak seluruh audience yang hadir untuk terlibat di waktu pagelaran berlangsung. Karya seni ruang menawarkan momentum sebagai pusat diskusi dan tukar informasi dengan mengedepankan nilai pragmatis. Namun bukan hanya mengedepankan segi estetika saja karya ini juga memantik kegiatan seni yang sifatnya happening dengan kejujuran yang terjadi di lapangan.
Harapan akan hidup damai, saling bersinergi antar manusia dengan lingkungan dipastikan menjadi angan-angan dan doa bagi semua kaum. Seni sebagai penanggal peradaban manusia tentu sangat leluasa untuk dijadikan alat pemantik reflektif budaya-budaya kuno yang makin hari makin tergerus oleh kemajuan teknologi. Kemandirian hakiki bukan berarti menjadi manusia yang bersikap acuh dan tak acuh kepada ritme alam semesta, kebudayaan yang dianggap adiluhung tentu harus dilestarikan dengan pondasi yang sangat kokoh. Negara yang kehilangan kebudayaan tentu lebih hina dibanding manusia tak berbusana.
Tim Kerja
Kurator : Ahmed Langit Biru
Artistik : Moh. Edga Selaksa Laska, Taaliyatu Aayaatillah, Silda Hayah Sabilla